Al-Ustadz Abu Humayd Fauzi Bin Isnain Hafidzahullah
Siapapun yang mendalami sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapati bahwa tidak ada satu pun perkara, besar ataupun kecil, yang akan membuat hidup seorang bahagia, tenteram, dan damai melainkan telah beliau terangkan seluruhnya. Beliau mengajak kita semua untuk menempuh berbagai sebab demi meraihnya. Bahkan beliau jelaskan pula fadilahnya dan pahala besar yang akan didapatkan di sisi Allah jika seseorang menjalaninya dengan sepenuh kejujuran.
Seorang mukmin yakin bahwa Rasulullah tidaklah meninggalkan dunia ini, melainkan telah sempurna dalam menjalankan tugas. Paripurna dalam mengembah amanat kerasulan. Beliau telah jelaskan dengan detil dan lengkap apa yang Allah wahyukan kepadanya. Beliau sampaikan dengan sepenuh ketulusan untuk segenap umat.
Selanjutnya adalah bagaimana dengan diri kita, anda dan tentu termasuk saya terhadap bimbingan beliau. Maukah kita buka telinga dan mata hati untuk mendengar dan mencermati bimbingan-bimbingan tersebut, lalu menjalankan dengan ketaatan? Atau justru wal ‘iyadzu billah, ada upaya mencari dalih demi melepaskan diri dari bimbingan itu?
Sementara Allah Ta’ala berfirman :
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم (الأحزاب : 26)
“Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman demikian pula wanita yang beriman ketika Allah dan Rasulnya telah menentukan sebuah ketetapan hukum, lalu mereka merasa diberi kebebasan untuk memilih dari urusan mereka (antara menaati hukum tersebut atau sebaliknya).” [Al-Ahzab : 26]
Semoga Allah meberikan taufik-Nya untuk kita.
Kita meyakini, bahwa kebaikan apapun saja bentuknya, pasti melalui wasilah Rasulullah -semoga sebaik baik shalawat dan salam selalu terlimpah untuknya – Sehinga seorang mukmin niscaya akan merasakan kebahagiaan ketika mendengar firman Allah dan sabda utusan-Nya. Itulah ilmu yang seharusnya dicari. Al Wahyain.
Maka dari itu, kita tersadarkan kembali betapa amat besar fadilah dari ilmu. Besar pula keutamaan orang yang meniti jalan demi meraihnya. Karena ilmu itu dicari agar tumbuh khasy-yatullah, rasa takut kepada Allah.
Takut yang akan benar-benar merasuk kedalam sanubari. Lalu akan terpancar ke seluruh anggota tubuhnya. Akan tampak pada raut mukanya gambaran lapangnya hati mendengar firman Allah dan sabda rasul-Nya, tampak pula dari ketekunan mebaca Al Quran dan menjalankan syariat-syariat Allah. Termasuk dalam urusan pergaulan suami istri.
—
Hak dan Kewajiban suami Istri sebuah alur yang panjang. Sepanjang perjalanan yang akan diarungi keduanya di atas bahtera rumah tangga. Ada kewajiban bersama yang harus diwujudkan kedua belah pihak. Suami istri sama sama membangun. Mendirikannya di atas pondasi ilmu dan ketaatan. Sama sama menjaga dan melindungi agar bangunan tetap kokoh berdiri. Dengan melawan segala kemungkinan yang bisa menghancurkan bangunan itu. Di sisi lain, ada pula jenis kewajiban atas salah satu pihak, suami saja atau istri saja.
Kita awali dengan membahas “Hak seorang suami atas istrinya”. Atau boleh pula dibalik, “Kewajiban Seorang Istri Terhadap Suaminya”
Dasar dari bab ini adalah firman Allah :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا كن أموالهم.
“Kaum lelaki adalah yang berhak mengatur dan memimpin atas wanita. Karena Allah (secara kauni) telah memberikan keutamaan dan keunggulan untuk mereka atas para wanita dan karena merekalah yang memberi nafkah berupa harta.” (An Nisa : 34)
Hak mengatur dan memimpin ada di tangan suami, bukan sebaliknya. Dan hakikatnya, bagi suami, ini adalah tugas berat yang Allah berikan atasnya. Dan Allah akan menanyainya kelak, bagaimana kesungguhannya dalam menjalankan tugas tersebut. Di atas sana ada pahala besar jika suami berhasil menjalankan. Namun di depan sana pun telah menanti hukuman Allah tatkala amanat dilalaikan.
Seorang istri, yang memiliki rasa takut kepada Allah tentu akan menerima ketetapan ini. Dia akan menyadari dan mengakui bahwa hak suami atasnya begitu besar. Di antaranya adalah hak mengatur dan memimpin.
Istri adalah pihak yang diatur dan dipimpin. Kewajiban seorang istri adalah mendengar dan taat atas perintah-perintah suami pada perkara apapun yang ma’ruf sebatas kemampuannya. Tidak pantas seorang istri yang beriman kepada Allah menganggap dirinya setara kedudukannya dalam rumah tangga secara mutlak dengan suami. Karena Allah Ta’ala berfirman :
وللرجال عليهن درجة
“Dan laki-laki (suami) memiliki keunggulan satu derajat daripada istri.” (Al Baqarah : 228)
Rasul bersabda :
والذي نفس محمد بيده لا تؤدي المرأة حق ربها حتى تؤدي حق زوجها
Demi Allah Yang Memegang Jiwa Muhammad dengan Tangannya, seorang istri belum menunaikan kewajiban kepada Allah – Pemiliknya – ,sampai dirinya memenuhi hak-hak suami. (HR Ibnu Majah, no. 1853, dan dishahihkan oleh Al Albani).
Suatu saat, ada seorang wanita yang menjumpai Rasulullah. Setelah ia menyelesaikan keperluannya lalu hendak pergi, Rasulullah menyisipkan sebuah pesan agungdan sangat berharga untuk umat ini, terutama bagi muslimah.
“Kamu bersuami?” tanya Rasulullah
“Ya, wahai Rasulullah.” Jawab wanita shahabiyah ini
“Di manakah kedudukanmu di sisi suamimu. Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” Tanya Rasulullah
“Aku tidak pernah kurang untuk terus melayani dan selalu berusaha mengambil hatinya. Kecuali yang tidak aku mampui.” Jawab wanita shahabiyah tersebut.
Lalu Rasul melepas wanita mulia itu dengan nasehat yang sangat penting,
انظري أين أنت منه فإنه جنتك ونارك
Periksalah dirimu. Di manakah letak dirimu baginya. Karena sikapmu terhadap suamimu adalah sebab surga untukmu atau sebab dirimu ke neraka. (HR. Ahmad, 27.352)
Tersirat dari sabda rasul ini, akan besarnya hak seorang suami terhadap istrinya. Sehingga generasi pendahulu kita yang shalih, para istri yang shalihah ketika dipanggil oleh suaminya, mereka menjawab panggilan itu dengan ungkapan penghormatan. Misalnya dengan kata “sayyidi” dan yang semakna dengan itu. Bukan berarti lafaz itu letterlijk harus kita tiru. Minimalnya para istri bisa memilihi sapaan penghormatan untuk suami yang berlaku di daerahnya.
Dan itu bukanlah sikap menghinakan diri sendiri. Justeru itulah wujud pengakuan seorang istri akan hak suaminya. Hak kepemimpinan dalam rumah tangga yang Allah berikan teruntuk suaminya.
Masih ada hadits lain yang juga menunjukkan akan besarnya hak suami atas istri. Yaitu sabda beliau :
لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لغير الله لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
Sekiranya aku memerintahkan seseorang untuk menghormat kepada selain Allah dengan cara bersujud, niscaya perintah itu akan aku tujukan kepada wanita terhadap suaminya. (HR Ibnu MAjah 1583).
Ini adalah sujud penghormatan, dan bukan sujud ibadah tentunya. Sujud inilah yang Allah perintahkan para malaikat untuk melakukannya kepada Adam saat awal mula tercipta. Dan hal ini juga diperbolehkan dalam syariat para nabi terdahulu. Adapun di dalam syariat Rasulullah, sujud dengan maksud dan tujuan apapun, tidak boleh dilakukan oleh seorang melainkan untuk Allah semata.
Namun inti dari sabda Nabi ini adalah penegasan dan penguatan akan besar dan agungnya hak seorang suami atas istrinya. Sehingga wajib atas seorang istri untuk menghormati suami, memuliakan dan berbicara kepadanya dengan penuh kesantunan.
Ibham Abuhum