Al-Ustadz Abu Humayd Fauzi Bin Isnain Hafidzahullah
Membahas akan hak kewajiban sepasang suami istri di masa lemahnya perhatian umat islam terhadap agamanya, menjadi sangat penting. Penting, karena perkara ini menjadi kunci kebahagiaan dunia akhirat. Dan wal hamduillah, syariat Allah tentangnya telah digariskan. Penjelasan nabi akan syariat tersebut pun terang benderang.
Tidak asing di telinga kita, fenomena keretakan yang dialami oleh banyak keluarga muslim. Tentu tidak semua. Karena betapapun keadaan suatu generasi, kebaikan itu selalu ada dalam tubuh umat Islamnya. Umat ini diumpamakan nabi laksana hujan, yang tidaklah diketahui kebaikan itu di awal atau di akhirnya, (HR At Tirmidzi). Yakni kebaikan dari umat Islam itu selalu ada di tiap generasi, wallahu a’lam.
Namun demikian, banyak dari rumah tangga muslim yang mengalami keretakan, bahkan hancur. Petaka itu benar-benar datang, padahal mereka bukan orang yang asing dengan sunnah. Justru secara lahiriah, mereka tampak semangat dalam mengikutinya. Namun dalam bab ini, ternyata mereka berada di jalur yang berbeda dari jalur yang Nabi gariskan.
Patut disadari bahwa baiknya masyarakat sangat bergantung kepada kebaikan keluarga-keluarga muslim. Sepasang suami istri yang baik, menjalankan hak dan kewajibannya sesuai syariat, niscaya akan menjadi baik pula keadaan anak-anak mereka. Benih yang terus menapaki fase-fase pertumbuhan fisik dan mental. Kelak di tangan mereka lah bangsa kita akan dihela ke arah yang mereka mau. Kendali itu sangat bergantung kepada ilmu yang mereka serap dan membekas kuat di dalam hati.
Oleh sebab itu, kesadaran kita akan pentingnya masalah ini bukan perkara remeh. Kesadaran tersebut akan mendekatkan diri, keluarga dan masyarakat kita kepada Allah. Di sanalah kemudian akan ditemukan ketentraman dan kedamaian yang luas.
Satu hal yang ingin saya katakan, bahwa hak-dan kewajian suami istri sebenarnya banyak orang membicarakan. Yang bertanya-tanya dan ingin tahu tentangnya pun tidak jarang. Tapi, yang mempraktekkan ilmu itu hanyalah sedikit dari mereka, yang mendapatkan taufik dari-Nya.
Selebihnya, seakan tak berdaya untuk menyambut panggilan Allah dan rasul-Nya. Tahu bahwa rasul bersabda begini dan begitu, sebagai bimbingan yang menjadi sebab baiknya pasangan suami istri. Namun, ketika hal itu menjelma sebagai kenyataan hidup yang dihadapinya, ilmu berbenturan dengan hawa nafsu. Masing-masing berkelit membela egonya. Sabda nabi pun ditakwilnya agar tidak terbidik kepadanya, namun dianggap hanya berlaku bagi pasutri dengan situasi dan kondisi yang berbeda. Berbagai alasan muncul demi sebuah pembelaan diri.
Jika daya istijabah itu lemah, iblis tidak akan tinggal diam. Iblis akan menjadikan alasan itu tampak lumrah dan benar dengan tipudayanya. Belum lagi setan dari kalangan manusia yang tampil laksana penganjur kebaikan dan penasehat yang tulus. Datang menghampiri suami atau istri dengan berbagai saran-sarannya yang justru membalikkan keadaan keluarga tersebut yang awalnya diliputi sakinah, mawadan wa rahmah menjadi ‘bubrah’.
Na’am, mari kita yang sudah berumah tangga kembali konsen dengan tema ini. Di zaman yang bermunculan manusia dengan beragam tipe dan latar belakang. Mengusung beragam visi dan misi. Ambisi politik, ide kebebasan, isu persamaan gender, dan lain sebagainya dari berbagai syubuhat dan kerancuan berfikir. Yang intinya adalah menjauhkan muslimin dari bimbingan agamanya. Memanfaatkan kelemahan kaum wanita di satu sisi, dan kejahilan serta lemahnya suami di sisi yang lain.
Kenyataan tersebut mesti menjadikan kita untuk cepat cepat sadar untuk mendalami kembali teks-teks otentik dua wahyu Allah, baik Al Quran maupun as Sunnah dalam masalah ini. Hak dan kewajiban suami istri. Lalu kita amalkan demi mewujudkan keluarga yang baik, masyarakat dan bangsa yang baik. Dan menjauhkan keluarga dan masyarakat dari kerusakan dan kehancuran.
Thoyyib. Dalam perkara apapun, besar atau kecil, seorang muslim semestinya mengikuti bimbingan Allah dan rasul-Nya. Disertai dengan keyakinan bahwa itulah letak keberhasilan dan kebahagiaan hidupnya. Tidak akan tercapai kesuksesan dari selain jalan Allah dan rasul-Nya. Tidak akan diraih ketenangan tanpa jalan itu. Jika ada yang susah payah mencari jalan alternatif, dan meninggalkan jalan Allah dan rasul-Nya, niscaya merugi. Hanya galau dan kegundahan yang ia dapatkan. Hidup pun akan terasa sempat dan menyakitkan.
Dekatkanlah diri kita kepada wahyain (dua wahyu Allah). Agar hati kita, istri dan anak-anak kita menjadi baik. Menjalani kehidupan ini di atas keistiqomahan dan penuh dengan kebahagiaan. Pelajarilah kehidupan nabi dan para shahabat beliau serta salaful ummah setelah mereka. Bagaimana hal itu benar-benar terwujud dalam kehidupan.
Imam Al Marruudzi menuturkan tentang keluarga Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, salah satu imam besar dari para imam panutan ahlus sunnah wal jamaah.
“ Suatu hari, sang imam mengenang tentang istri beliau, Ummu Shaleh. Lalu beliau mengatakan kepada kami..”
“Doakanlah dia agar mendapat rahmat dari Allah. Sungguh, selama 20 tahun kami hidup bersama, tidak pernah satu kalipun terjadi khilaf di antara kami berdua. Meski hanya satu kata. “
Merinding !
Bandingkanlah diri kita dan keluarga kita dengan mereka. Mereka yang benar-benar menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai jalan hidup. Bukan semata slogan. Maka itulah yang mereka rasakan. Hati yang lapang, jiwa yang tenang, kehidupan yang tentram.
Demikianlah kehidupan para shahabat Nabi, dan salaful ummah setelah mereka. Ketika terdengar ucapan nabi, mereka camkan baik baik lalu dengan tanpa ragu menyambutnya, “Labbaika wa sa’daik”. Mereka pun terapkan dalam hidup. Karena yakin, bimbingan nabi itu tidak akan menjadikan baiknya hidup mereka di dunia ini semata. Bahkan akan menjamin kebahagiaan hidup di dunia yang fana dan kelak di alam baka. (ibham abhum)